Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kontroversi Puisi Esai 2018

Kontroversi puisi esai memasuki babak baru tahun 2018 ini. Kontroversi baru ini dipicu sang penggagas sekaligus dedengkot puisi esai Denny JA (Denny Januar Ali) dengan gerakan penulisan puisi esai nasional 2018. Gerakan ini melibatkan 5 orang penulis puisi esai setiap provinsi dari 34 provinsi di Indonesia. Setiap penulis puisi diberi honorarium yang pantas dan layak untuk sebuah karya seni/intelektual. Sponsor utama Denny JA. Program ini mendapat sambutan meriah dari para pendukung puisi esai di seluruh Tanah Air.

Hasil dari gerakan nasional ini akan terbit 34 buku antologi puisi esai karya 170 penulis puisi esai yang berisi potret batin dan isu sosial yang menonjol di masing-masing provinsi. Direncanakan pertengahan tahun 2018 ini akan diluncurkan 34 buku puisi esai di Jakarta yang dihadiri 170 penulis puisi ditambah 34 kritikus sastra yang menyusun Pengantar buku puisi esai. Pada saat ini 34 buku puisi esai sedang  dalam proses penerbitannya.   

Sejumlah nama sastrawan dan kritikus/pengamat sastra pendukung gerakan puisi esai  Denny JA, antara lain Jamal D. Rahman, Narudin Pituin, Satrio Arismunandar, Fatin Hamama, Sastri Sunarti, Nia Samsihono, Monica Anggi, Heri Mulyadi, Aspar Paturusi, Anto Narasoma, Denok Kristianti, Teguh Supriyanto, Isbedy Setiawan ZS, Anggoro Suprapto, Bambang Irawan, Isti Nugroho, Muhammad Thobroni, Hamri Manopo, Anggia Budiati, dan lain-lain.

Gerakan Denny JA dan kawan-kawan ini mendapat perlawanan. Para penentang puisi esai bereaksi keras menghadang gerakan ini. Awal tahun 2018 mereka membuat Petisi penolakan program penulisan puisi esai nasional Denny JA. Mereka mengusung slogan: menolak puisi esai prabayar, menghapus nama Denny JA dari sastra Indonesia, menolak pembodohan sejarah sastra Indonesia, bebaskan sastra Indonesia dari racun manipulasi. Petisi itu ditandatangani ratusan  penyair terutama para penyair muda yang dikoordinasi Ramon Apta. Petisi dikirim ke berbagai intansi, antara lain Kemendikbud, Kemenristekdikti, Kementerian Pariwisata, Badan Bahasa, Hiski, Komite Buku Nasional, Perpustakaan Nasional, dan Ikapi. 

Di samping penolakan dalam bentuk Petisi, kelompok kontra juga membentuk gerakan berskala nasional bernama GAS (Gerakan Anti Skandal Sastra). Gerakan ini akan menerbitkan buku antologi artikel opini berjudul Skandal Sastra Undercover yang memuat puluhan artikel opini yang berisi penolakan terhadap puisi esai prabayar Denny JA. GAS dikordinasi penyair Sosiawan Leak dengan tim pendukungnya, antara lain Sofyan RH. Zaid, Dedy Tri Riyadi, Ahmadun Yosi Herfanda, Dino Umahuk, Sihar Ramses Simatupang.

Kontroversi puisi esai 2018 ini merupakan kelanjutan kontroversi puisi esai yang terjadi sejak tahun 2014 lalu. Awalnya heboh ini dipicu oleh penerbitan buku berjudul 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (selanjutnya disebut buku 33 Tokoh Sastra) yang ditulis Tim 8 dengan coordinator penyair Jamal D. Rahman. Buku tebal 734 halaman ini diterbitkan Penerbit KPG (2014), diluncurkan di Jakarta 3 Januari 2014. Salah satu dari 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh adalah Denny JA yang dikenal luas sebagai konsultan politik dan pendiri LSI (Lingkaran Survei Indonesia). Oleh Tim 8 nama Denny JA dinilai berpengaruh karena sebagai penggagas dan perintis penulisan puisi esai, layak disejajarkan dengan tokoh sastra Indonesia lain, seperti Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, H.B. Jassin, Arief Budiman, dan lain-lain.

Sebetulnya ada beberapa nama dalam buku 33 Tokoh Sastra ini yang patut dipertanyakan pengaruhnya, namun yang diprotes hanya Denny JA. Jadi, kontoversi ini sebetulnya, menurut saya, dipicu dua faktor sekaligus, yakni (1) faktor puisi esai yang dikelaim sebagai genre baru dalam sastra Indonesia, dan (2) faktor Denny JA yang tiba-tiba masuk dalam jajaran tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh. Meskipun Tim 8 telah memberikan klarifikasi, gelombang protes terhadap kehadiran buku 33 Tokoh Sastra tidak pernah surut, sejak 2014 sampai dengan 2018.

Pada awal tahun 2014 lalu itu para penentang buku 33 Tokoh Sastra membuat Petisi menolak buku 33 Tokoh Sastra dengan inisiator Saut Situmorang, Dwi Cipta, Eimond Esya, Faruk HT, dan lain-lain. Tidak hanya petisi penolakan, para penentang Denny JA juga kemudian menerbitkan buku berjudul Skandal Sastra (2016)diterbitkan Penerbit Indie Book Corner, Yogyakarta, tebal 265 halaman. Buku ini memuat 27 opini/esai berisi penolakan terhadap buku 33 Tokoh Sastra. Sejumlah nama dalam buku ini, antara lain Wahmuji, Katrin Bandel, A.S. Laksana, Andre Barahamin, Akmal Nasery Basal, Ahmadun Yosi Herfanda, dan lain-lain.

Pada waktu saya membaca buku Skandal Sastra ini, saya kaget setengah mati, karena opini saya yang berjudul “Debat Sastra Berujung Pidana?” termuat dalam buku ini, halaman 259-265. Editor buku ini Dwi Cipta dan Wahmuji tidak pernah menghubungi saya secara lisan maupun tertulis. Opini saya ini sudah dimuat harian Flores Pos (terbitan Ende) pada 14 April 2015, kemudian saya pasang di blog pribadi saya: www.yohanessehandi.blogspot.com pada 19 April 2015. Editor buku ini mengambilnya dari blog saya.

Seandainya opini saya ini diminta khusus untuk dimasukkan dalam buku Skandal Sastra, tentu saya menolaknya, karena saya bukan penentang buku 33 Tokoh Sastra, bukan penentang puisi esai, bukan pula penentang Denny JA. Saya termasuk orang yang menghargai tinggi kreativitas dan kebaruan dalam sastra. Yang saya tentang dalam opini itu adalah kriminalisasi debat sastra antara penyair Fatin Hamama vs Saut Situmorang yang dilakukan pihak kepolisian yang berujung Saut Situmorang divonis penjara beberapa bulan oleh Pengadilan Negri Jakarta Timur. Menurut saya, ragam linguistik sastra tidak bisa disamakan dengan ragam linguistik bidang hukum, politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain.

Kontroversi puisi esai 2018 ini bakalan bertambah seru ke depan. Kelompok pro-puisi esai secara berkala setiap bulan menyelenggarakan diskusi puisi esai di Yayasan Budaya Guntur Jakarta. Pada 16 Februari 2018 lalu, berlangsung perdebatan panas di Yayasan itu antara Narudin Pituin (pihak pro) vs Saut Situmorang (kontra) dan Kamerad Kanjeng (pro) vs Eko Tunas (kontra). Pada 9 Maret 2018 berlangsung pula diskusi di tempat yang sama dengan melibatkan Denok Kristianti, Rasiah, dan Sastri Sunarti, tanpa dihadiri pihak kontra. Pada 6 April 2018 telah berlangsung ramai diskusi puisi esai yang melibatkan penyair D. Kemalawati (Aceh), Heri Mulyadi (Jambi), Anggia Budiarti (Papua), Muhammad Thobroni (Kalimantan), Hamri Manopo (Sulawesi), dan Teguh Supriyanto (Jawa). Diskusi ke-3 ini juga tanpa dihadiri pihak kotra.

Sementara itu, pihak kontra terus membombardir gerakan puisi esai nasional Denny JA lewar berbagai diskusi, di antaranya terjadi di Bandung pada 13 Maret 2018 dimotori harian Pikiran Rakyat Bandung dengan tema menohok “Membongkar Kebohongan Angkatan Penyair Prabayar.” Para pembicara adalah Ahda Imran, Hikmat Gumelar, Ari Purwawidjana, Heru Hikayat, dan Yana Risdiana. Penolakan pihak kontra puisi esai semakin keras karena pihak pro-puisi esai mengklaim sudah lahir Angkatan Puisi Esai 2018 dalam sastra Indonesia. Pada tengah tahun 2018 berlangsung pertemuan nasional puisi esai di Jakarta. Peristiwa nasional puisi esai itu bakal membuat radang pihak kontra puisi esai. Semoga kontroversi puisi esai 2018 ini akan  memberi inspirasi dan memicu spirit baru bagi para sastrawan Indonesia dalam berkarya sastra. *

 
Oleh Yohanes Sehandi
Dosen Progran Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Flores, Ende

(Telah dimuat harian Stabilitas, terbitan Bima, NTB, pada Senin, 9 April 2018)

Post a Comment for "Kontroversi Puisi Esai 2018"