Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mencari Ilmu Hitam dalam Sastra NTT

Sampai dengan saat ini, sepertinya sulit sekali  menemukan cerita tentang ilmu hitam atau cerita tentang suanggi dalam karya para sastrawan NTT. Cerita tentang ilmu hitam atau tentang suanggi, sebetulnya banyak sekali beredar dalam masyarakat kita. Cerita-cerita itu diwariskan dengan cara bisik-bisik dari mulut ke mulut, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ceritanya bisa merinding bulu kuduk. Sejumlah istilah berkaitan dengan ilmu hitam, antara lain santet, leu-leu, rasung, suanggi, dan potiwolo.

Cerita ilmu hitam ditambah dengan berbagai jenis cerita rakyat yang lain masuk dalam kelompok mitos (mitologi). Teori sastra yang khusus mempelajari cerita-cerita rakyat seperti ini adalah teori mitologi atau teori mitopoik (Ratna, 2009) yang di tingkat dunia dikembangkan antropolog Claude Levis-Strauss (1908-2009). Menurut Levis-Strauss, mitos terjadi karena adanya hubungan asimetris antara pikiran dan kenyataan. Dalam teori kontemporer, mitos termasuk wacana fiksional yang berlawanan dengan logos sebagai wacana rasional.

Ilmu hitam bukan seperti ilmu pengetahuan biasa yang dipelajari di sekolah-sekolah, tetapi sebuah kekuatan gaib/magis yang bisa mengubah sesuatu menjadi yang dikehendaki sang suanggi pengirim ilmu hitam itu. Menurut cerita, percaya atau tidak, ilmu hitam mampu mencelakakan orang lain, misalnya bisa menjadi sakit atau gila, menjadi siluman, bahkan bisa mati. Orang yang terkena ilmu hitam biasanya bisa disembuhkan dengan ilmu hitam pula dari dukun yang lebih tinggi derajat ilmunya.  

Terlepas apakah ilmu hitam itu masuk akal atau tidak, benar terjadi atau tidak, bagi saya, cerita ilmu hitam dan berbagai cerita rakyat lain yang bersifat gaib/magis dan berlimpah ruah dalam masyarakat kita, merupakan suatu kekayaan/kekuatan batin masyarakat kita di NTT yang harus diselamatkan. Sayang sekali kalau cerita-cerita seperti ini hilang begitu saja digerus oleh arus teknologi yang kini berkembang secara masif. Salah satu cara untuk menyelamatkan berbagai cerita rakyat itu adalah dengan mengangkatnya dalam karya sastra, secara tertulis, lewat cerpen, novel atau drama. 

Menyelematkan cerita ilmu hitam dalam bentuk karya sastra itulah yang luput dari perhatian para sastrawan NTT selama ini. Ini sangat disayangkan. Saya coba menelusuri cerita-cerita ilmu hitam atau cerita suanggi ini lewat berbagai cerita prosa dalam sastra NTT. Sejauh penelusuran saya, belum ada novel yang secara khusus menggarap tema ilmu hitam atau suanggi. Sedangkan berupa cerpen hanya ditemukan beberapa saja. Dari yang sedikit itu, di sini saya coba mengangkat dua cerpen bertema ilmu hitam atau suanggi, yakni cerpen berjudul “Bulan Mati” dan cerpen “Panta Merah. Dalam pengertian umum, suanggi adalah orang atau dukun yang menggunakan ilmu hitam.

Cerpen pertama berjudul “Bulan Mati” karya sastrawan NTT Julius Sijaranamual. Sijaranamual lahir di Waikabubak, Sumba Barat pada 21 September 1944, meninggal dunia pada Mei 2005.  Julius lama menjadi wartawan Sinar Harapan. Cerpen ini dimuat dalam majalah sastra Horison Nomor 2, Tahun II, Februari 1967.

Diceritakan dua tokoh pemilik ilmu hitam di sebuah kampung nelayan dekat pantai. Yang satu bernama Metekato, dia kepala kampung yang “berisi” karena memiliki ilmu hitam. Yang lain bernama Amalodo, seorang bekas serdadu Kompeni yang berani, punyai “pegangan” yang tidak kalah dengan Metekato. Dengan melihat nama kedua tokoh ini, bisa kita perkirakan cerpen ini berlatar belakang masyarakat Sabu atau Sumba di NTT. Metekato dan Amalodo musuh bebuyutan, keduanya bersumpah untuk saling mematikan lewat adu kekuatan ilmu hitam.

Celaka dua belas bagi keduanya. Anos anak lelaki Metekato saling jatuh cinta dengan Ina anak gadis semata wayang Amalodo. Di suatu malam yang mencekam (disimbolkan sebagai bulan mati), Metekato mengancam Enos untuk batal nikah dengan Ina karena anak setan. Di saat yang sama, Amalodo mengiterogasi Ina untuk putus dengan Enos, karena menurutnya, nikahi Enos sama dengan nikahi anak jahanam. Mendapat ancaman dari kedua orang tua, keduanya anak muda itu nekat melawan orang tua mereka dengan cara kawin lari. Tatkala Enos datang menjemput Ina di rumahnya untuk melarikan diri, dia tertangkap tangan Amalodo yang muncul dari semak-semak.  Terkaparlah Enos di tangan Amalodo dengan satu tembakan senapan.

Sang kepala kampung Metekato sudah tahu anaknya Enos tewas di tangan Amalodo. Kini giliran keduanya bertarung ilmu hitam di laut lepas. Di tengah malam yang pekat, keduanya menuju laut untuk memancing. Di atas sampan keduanya saling mengejek, yang sial yang kalah,  yang mujur yang menang. Di ronde pertama, Metekato yang kalah karena tidak mendapat ikan, mendapat ejekan pedas dari Amalodo. Tali pancing Metekato yang dikiranya ikan besar, diangkatnya dengan tenaga yang mengucur keringat, ternyata yang terangkat hanyalah selembar daun tuak. Metekato merasa ronde pertama dia kalah.  

Di ronde kedua menjelang dinihari, Amalodo yang mendapat giliran sial dan diejek habis-habisan oleh Metekato yang sampannya penuh dengan ikan. Menjelang akhir pertarungan, menjemput pagi, Amalodo yang sial mencoba pelan-pelan menarik tali pancingnya. Namun sebelum tali pancingnya habis tertarik, dia tersentak merasa mata kailnya terkena ikan besar. Ia merasa bakal menang lagi melawan Metekato. Dengan sekuat tenaga, ditariknya tali pancing ke atas sampan. Sepertinya ia tidak sabar melihat hasil tangkapannya. Alangkah terkejutnya ia, yang muncul dari dalam air bukan ikan besar, tetapi kepala anak gadisnya sendiri. Ia langsung sadar apa yang telah terjadi. Buru-buru Amalodo mengayuhkan sampannya ke pantai. Dan ketika tiba di rumahnya, ia menemui anak perempuannya yang bernama Ina sudah mati.

Cerpen kedua berjudul “Panta Merah” karya sastrawan NTT Buang Sine. Buang Sine yang lahir di Kupang pada 30 Juni 1967 ini adalah anggota polisi aktif yang bertugas di Polda NTT. Cerpen ini dimuat dalam buku Cerita dari Selat Gonsalu: Antologi Cerpen Sastrawan NTT (2015) terbitan Kantor Bahasa NTT.

Diceritakan tentang seorang anak lelaki bernama Morito sudah dua hari sakit keras. Bapa mamanya sangat khawatir akan keselamatan anak tunggal mereka, apalagi beredar desas-desus bahwa “panta merah” (ilmu hitam) sedang menyerang warga kampung. Seorang anak lainnya Leksi Nimorte, diisukan meninggal dunia karena dimakan panta merah. Bapanya Markus Lemoto memanggil dukun Kemurota untuk menghabisi suanggi pengirim ilmu hitam.

Suatu malam, dukun Kemurota bersama Lemoto datang menyerang dengan ilmu hitam ke gubuk nenek Yakomina, seorang dukun santet yang tinggal di lembah sebelah kampung. Tengah malam terjadi pertarungan menegangkan antara dukun santet dan dukun Kemurota. Bola api sebesar bola kaki melesat dari bubungan gubuk nenek tua ke angkasa, berputar-putar, bagaikan kilat melesat turun menyergap Kemurota dan Lemoto yang sedang mengendap di semak-semak samping gubuk. Saat terjadi pertarungan sengit melawan bola api, Lemoto lari masuk gubuk membalikkan badan Yakomina yang tidur telentang seperti orang mati, ke posisi tengkurap. Berikut pelukisan Buang Sine atas peristiwa itu dalam beberapa paragraf berikut.

“Tiba-tiba bola api itu meledak di udara. Markus dan Kemurota tiarap di tanah. Akhhh!!! Khhhh!!! Akhhh!!! Terdengar suara jeritan keras dari dalam bola api itu memecah langit. Suara perempuan tua.

Orang-orang kampung terbangun berlarian mendekati asal suara. Bola api dan teriakan wanita tua Yakomina meluncur masuk ke dalam gubuk. Tiba-tiba terdengar ledakan besar. Bum! Asap putih membumbung dari dalam gubuk. Orang-orang kampung tertegun menyaksikan kejadian dahsyat itu.

Mereka beramai-ramai masuk ke dalam gubuk nenek Yakomina untuk melihat apa yang terjadi. Di dalam gubuk mereka mencium bau daging terbakar. Tubuh nenek Yakomina hangus terbakar menghitam arang. Ia mati terpanggang ilmunya sendiri.” *


Oleh: Yohanes Sehandi
Pengamat dan Kritikus Sastra dari Universitas Flores, Ende

(Telah dimuat harian Pos Kupang, terbitan Kupang, pada Selasa, 2 Januari 2018)


1 comment for "Mencari Ilmu Hitam dalam Sastra NTT"