Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kritik Sastra Indonesia Mencari Kambing Hitam

Judul opini ini sama persis dengan judul buku antologi kritik sastra yang diluncurkan pada Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi) ke-2 di Hotel Mercure Ancol, Jakarta, pada 18-20 Juli 2017 lalu. Editor buku kritikus Maman S. Mahayana, diterbitkan Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Buku yang terbit tahun 2017 dengan tebal 179 halaman ini, merupakan buku antologi kritik sastra dari 21 orang sastrawan, pengamat, dan kritikus sastra Indonesia yang diambil dari tahun 1935 sampai 1984 (rentang waktu 49 tahun). Sejumlah nama besar yang karyanya dihimpun dalam buku yang mau diperkenalkan ini, antara lain Sutan Takdir Alisjahbana (STA), Sanusi Pane, Sutan Sjahrir, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, H. B. Jassin, Iwan Simatupang, Dick Hartoko, Dami N. Toda, dan lain-lain. Dimulai dari karangan STA (1935) yang dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe berjudul “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru Indoesia – Prae-Indonesia” diakhiri dengan karangan Dami N. Toda (1984) yang diambil dari bukunya Hamba-Hamba Kebuayaan yang berjudul “Kritik Sastra Indonesia Mencari Kambing Hitam.” Jadi, judul buku ini diambil langsung dari judul karangan Dami N. Toda, seorang kritikus sastra Indonesia modern kelahiran Manggarai, Flores, 29 September 1942, meninggal dunia di Hamburg, Jerman pada 10 November 2006.

Sebagai editor sekaligus kurator, kritikus Maman S. Mahayana, menulis pengantar dengan cukup kritis berjudul “Catatan Kurator, Jejak Kritik Sastra” (halaman xi-xxii). Mahayana dalam catatan pengantarnya menyatakan bahwa sastra Indonesia sejak awal mula sudah mempunyai tradisi kritik sastra. Kritik sastra Indonesia tidak mengadopsi kritik sastra dari Barat. Pernyataan Mahayana ini membantah semua anggapan umum selama ini yang menyatakan sastra Indonesia tidak mempunyai tradisi kritik sastra. Kritik sastra Indonesia diadopsi dari tradisi kritik sastra Barat. Mahayana membantah semua anggapan keliru itu.

Mahayana menjelaskan, istilah “kritik sastra” itu sendiri pada awalnya diperkenalkan STA dalam artikelnya berjudul “Menoedjoe Kesoesasteraan Baroe” yang dimuat dalam rubrik “Memadjoekan Kesoesasteraan” dalam majalah Pandji Posetaka, edisi Mei 1932. Di sini STA menjelaskan ciri-ciri puisi baru, syair, kiasan, dan ibarat, berikut ulasannya. Sejak saat itulah istilah “kritik sastra” mulai digunakan orang untuk menunjuk sebuah tulisan di media massa yang membicarakan (karya) sastra dengan nama kritik sastra.

Selanjutnya lewat majalah Pujangga Baru yang dipimpin STA, tradisi kritik sastra Indonesia bertumbuh dan terus berkembang. Kritikus sastra pun mulai bermunculan. Dalam perkembangannya, kritikus yang paling menonjol adalah H. B. Jassin (1917-2000). Kedudukan kritik sastra Indonesia menjadi kokoh setelah H. B. Jassin menerbitkan buku-bukunya yang sangat terkenal berjudul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (1945) yang mencapai empat jilid buku. Buku-buku kritik sastra H. B. Jassin inilah kemudian menjadi acuan dan model kritik sastra Indonesia selanjutnya. Kritikus sastra Indonesia yang lain adalah A. Teeuw, M. S. Hutagalung, Umar Junus, Dami N. Toda, Jakob Sumardjo, Maman S. Mahayana, dan lain-lain.

Mari kita kembali ke judul buku yang sekaligus menjadi judul opini ini. Apakah benar kritik sastra Indonesia mencari kambing hitam? Mari kita lihat sepintas perjalanan kritik sastra Indonesia. Sejak dahulu sampai dengan saat ini, kritik sastra Indonesia sering dituding sebagai musabab kurang memasyarakatnya sastra Indonesia di kalangan masyarakat Indonesia. Kritik sastra Indonesia dituduh tidak bisa mengimbangi perkembangan karya sastra Indonesia yang pesat. Akibatnya, karya-karya sastra Indonesia hanya dikenal di kalangan elit dan terbatas. Tudingan lain, selepas pensiunnya H. B. Jassin (1917-2000) dari gelanggang kritik sastra Indonesia, sulit ditemukan kritikus sastra yang sewibawa dan seproduktif H. B. Jassin. Kurang berwibawa dan kurang produktifnya kritikus dalam melakukan kritik sastra menambah beban kritik sastra sebagai kambing hitam.

Problem lain yang melilit kritik sastra Indonesia adalah ketidakberdayaan teori kritik sastra yang dijadikan acuan. Apabila ada kritik sastra yang terlalu teoretik dan teknis, hasilnya kurang lentur, unsur seninya berkurang sehingga membosankan. Sungguh tidak mudah untuk menyatakan teori mana yang tepat untuk bekal kritik sastra. Telah banyak teori kritik sastra yang umumnya bersumber dari teori sastra. Sekian banyak teori kritik sastra itu terasa menjadi beban bagi seorang kritikus sastra. Calon-calon kritikus sastra yang biasanya muncul dari dunia akademik di perguruan tinggi sepertinya sulit mencari teori kritik sastra yang tepat bagi pengembangan kritik sastra.

Terhadap berbagai tudingan yang menjadikan kritik sastra sebagai kambing hitam, Dami N. Toda lewat tulisannya yang terdapat dalam buku ini (halaman 165-179) menyatakan bahwa kritik sastra tidak bisa dijadikan sebagai kambing hitam dari keadaan tidak memasyarakatnya sastra nasional Indonesia. Menurut Dami N. Toda, untuk memasyarakatkan sastra nasional Indonesia perlu dilakukan kerja sama sinergis berbagai pihak, terutama antara pemerintah sebagai pengelola masyarakat bangsa dan negara dengan para pendidik di berbagai lembaga pendidikan, tokoh-tokoh masyarakat, para sastrawan, pengamat dan kritikus sastra, penerbit buku dan media massa, toko buku dan perpustakaan. Semuanya bersama-sama membentuk iklim kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan sastra nasional Indonesia. *

Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat Sastra dari Universitas Flores, Ende

(Telah dimuat harian Flores Pos, terbitan Ende, pada Sabtu, 19 Agustus 2017).


1 comment for "Kritik Sastra Indonesia Mencari Kambing Hitam"

  1. Sebagai penerus bangsa, sastra harus di ketahui karena sastra membuka cakrawala berpikir

    ReplyDelete