Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menafsirkan Makna Sebuah Puisi

Apa itu puisi? Jawaban atas pertanyaan ini bisa bermacam-macam, bahkan bisa bertentangan satu sama lain, bergantung pada tingkat pemahaman dan daya persepsi seseorang pada waktu berhadapan dengan puisi. Salah satu jawaban mengejutkan datang dari Gertrude Stein, seorang pengamat dan kritikus sastra. Sebagaimana disitir Budi Darma dalam bukunya Solilokui: Kumpulan Esei Sastra (1984: 28), Stein menjawab pertanyaan itu dengan enteng, puisi adalah puisi. Mengapa? Karena puisi dapat ditafsirkan, dibicarakan, dianalisis, diperdebatkan, bahkan dijungkir-balikkan dengan segala macam cara oleh siapa saja yang tampaknya benar, karena apapun yang dikatakan mengenai puisi bisa jadi benar.

Pernyataan Gertrude Stein bahwa puisi adalah puisi bisa dianggap main-main, bisa pula dinilai serius. Dianggap main-main karena seolah-olah puisi itu barang mainan, produk murahan, ditulis sesuka hati, kapan dan di mana saja. Segala sesuatu yang disusun berderet-derat dalam bentuk kata, baris, dan bait adalah puisi. Karena itu, siapa saja bisa menulis puisi. Tidak heran orang melampiaskan isi hati, pikiran, dan hasrat terdalamnya dengan menulis puisi. Jadilah puisi bertebaran di mana-mana. Seolah-olah setiap orang bisa menjadi penyair.

Sebaliknya, puisi dinilai serius karena puisi adalah salah satu karya seni yang memiliki otonomi sendiri, bermakna, menghibur, mengandung nilai, baik nilai moral, spiritual, maupun nilai pendidikan. Itulah yang oleh penyair Romawi kuno Horatius (65-8 SM) menyebutnya sebagai utile at dulce (bermanfaat dan menyenangkan). Sebagai karya sastra, puisi merupakan produk imajinasi, hasil kreativitas penyair yang tentu berbeda dengan penyair lain. Puisi mencerminkan identitas sekaligus eksistensi sang penyair. Oleh karena itu, menulis puisi, menjadi penyair, menjadi sastrawan, tidaklah gampang. Yang bisa menulis puisi adalah orang-orang  yang serius, yang dengan sungguh-sungguh, syukur kalau dikaruniai bakat seni.

Siapa yang menafsir atau menilai sebuah puisi? Tidak lain dan tidak bukan adalah para pembaca, pengamat, dan kritikus sastra. Penilaian seseorang terhadap sebuah puisi sangat bergantung pada tingkat pemahaman dan daya persepsi orang tersebut pada waktu berhadapan dengan puisi. Penilaian terhadap sebuah puisi juga ditentukan cara pandang atau jenis pendekatan seseorang terhadap sebuah puisi.

Hasil penafsiran atau penilaian seorang pembaca, pengamat, dan kritikus sastra terhadap sebuah puisi bisa beragam, bahkan bisa bertentangan satu sama lain, karena pada hakikatnya puisi adalah karya sastra yang bersifat imajinatif, kreatif, dan fiktif. Sifatnya yang  imajinatif membuat puisi bisa ditafsirkan bermacam-macam. Bahkan semakin beragam penafsiran terhadap sebuah puisi, semakin baguslah puisi itu. Sifatnya yang kreatif membuat sebuah puisi selalu memancarkan hal-hal baru, yang mencerahkan. Sifatnya yang fiktif menjadikan sebuah puisi membangun realitasnya tersendiri, yakni realitas fiksi. Realitas fiksi adalah realitas yang diciptaka penyair, hanya ada dalam pikiran dan perasaanya saja, namun seolah-olah ada dan terjadi di mana hati pembaca.

Dalam perspektif teoretikus sastra M. H. Abrams dalam bukunya The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition (1971), karya sastra dapat dipahami dari empat model pendekatan, yakni (1) pendekatan objektif yang menitikberatkan analisis pada teks karya sastra, (2) pendekatan ekspresif yang menitikberatkan analisis pada pengarang, (3) pendekatan pragmatik yang menitikberatkan analisis pada sudut pandang pembaca, dan (4)  pendekatan mimetik yang menitikberatkan analisis pada sudut pandang pada lingkungan masyarakat. Empat jenis pendekatan sastra model M. H. Abrams inilah yang menghasilkan berjenis-jenis teori sastra yang dikenal dalam ilmu sastra. Lewat buku Mengenal 25 Teori Sastra (2014) saya menjabarkan keempat pendekatan sastra M. H. Abrams ini menjadi 25 jenis teori sastra. Ada sembilan teori yang berinduk pada pendekatan objektif, tiga teori berinduk pada pendekatan ekspresif, tiga teori berinduk pada pendekatan pragmatik, dan sepuluh teori berinduk pada pendekatan mimetik.

Berdasarkan penjelasan singkat di atas tentang hakikat karya sastra yang bersifat imajinatif, kreatif, dan fiktif, ditambah dengan penjelasan tentang keempat jenis pendekatan sastra yang dikemukakan M. H. Abrams, maka tidaklah heran, bahkan wajar-wajar saja, apabila sebuah puisi dapat ditasirkan beragam, bermacam-macam, bahkan saling bertentangan satu sama lain oleh para pembaca, pengamat, dan kritikus sastra. Bahkan, semakin banyak dan beragam penafsiran makna terhadap sebuah puisi semakin baiklah puisi itu. Bahkan menurut teori persepsi (Wilhelm Wundt) dan teori resepsi (Hans Robert Jauss) yang berinduk pada pendekatan pragmatik, makna sebuah puisi hanya ditentukan oleh persepsi pembaca. Sepuluh orang pembaca atas sebuah puisi akan menghasilkan sepuluh penafsiran atau penilaian.

Tentu saja pembaca, pengamat, dan kritikus sastra yang serius, tidak asal menafsir atau menilai sebuah puisi. Dia harus memiliki tingkat pemahaman yang cukup baik atas sebuah puisi, menguasai perangkat penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan dari sudut ilmu sastra, dan memiliki daya kritis, analitis, dan estetis. Tanpa memiliki sejumlah modal dasar ini, hasil penafsiran seseorang bisa kedodoran, bahkan jauh panggang dari api. Itulah sebabnya, betapa sulitnya menemukan kritikus sastra yang berbobot, meskipun sarjana sastra, magister sastra, doktor sastra, profesor sastra bergentayangan di mana-mana.

Sebagai pembaca dan pengamat sastra, saya memiliki perangkat penilaian terhadap sebuah puisi untuk menentukan puisi itu baik atau buruk, yang tentu bisa saja berbeda dengan pengamat sastra yang lain. Sebagaimana saya jelaskan dalam opini berjudul “Puisi yang Baik dan yang Buruk” (Pos Kupang, Selasa, 13/9/2016), bahwa puisi yang baik, yang berbobot literer adalah puisi yang berada antara dua dunia atau dua realitas, yakni realitas faktual (fakta) dan realitas fiksi (imajinasi). Dalam opini itu saya kemukakan dua contoh puisi yang buruk dan dua contoh puisi yang baik. Ada sejumlah pokok dalam opini itu yang ditanggapi secara keliru oleh Muhammad Soleh Kadir (nama asli dari Pion Ratulloly) yang berjudul “Klaim Nyasar dan Tak Berdasar” (Pos Kupang, Senin, 19/9/2016).

Pengertian “literer” oleh Soleh Kadir direduksi seolah-olah sama dengan pengertian “literatur” yang dipakai sebagai rujukan dalam menulis karya ilmiah. Pengertian literer yang benar, termasuk dalam opini saya itu, adalah puisi yang mengandung nilai sastra. Puisi yang baik adalah puisi yang berbobot literer, sedangkan puisi buruk sebaliknya. Penanggap juga mempersoalkan mengapa saya mengambil contoh puisi dari penulis pemula, yang belum terkenal. Jawabannya, saya menilai bukan pada penulisnya, tetapi pada teks puisi itu sendiri.

Karena perangkat penilaian saya terhadap sebuah puisi jelas, menurut saya, tidak semua puisi penyair terkenal termasuk puisi yang baik, ada banyak juga puisi yang buruk. Sebaliknya, ada banyak puisi karya sejumlah penulis pemula, termasuk para sastrawan NTT, yang meskipun nama mereka belum terkenal, namun cukup banyak puisi mereka yang baik, yang berbobot literer. Yang kurang pada kita di Provinsi NTT ini, menurut saya, adalah pengamat dan kritikus sastra yang mengambil peran dan tanggung jawab memperkenalkan karya-karya para sastrawan NTT ke tingkat nasional dan internasional. *

Oleh Yohanes Sehandi
Pengamat Sastra dari Universitas Flores, Ende

(Telah dimuat harian Pos Kupang, terbitan Kupang, pada Rabu, 28 September 2016)


Post a Comment for "Menafsirkan Makna Sebuah Puisi"