Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Lokalitas NTT dalam Antologi Cerpen Cerita dari Selat Gonsalu

Saya bersyukur mendapat kepercayaan Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi kurator untuk buku Antologi Cerita Pendek Sastrawan NTT 2015 yang akan diluncurkan pada Temu 2 Sastrawan NTT awal Oktober 2015 di Ende, Flores. Bapak Gerson Poyk, sastrawan senior dan perintis sastra NTT juga menjadi kurator cerpen-cerpen yang akan diterbitkan dalam bentuk antologi. Sebanyak 57 judul cerpen dari 27 penulis yang diterima Kantor Bahasa Provinsi NTT untuk diseleksi oleh dua orang kurator. 

Sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan Kantor Bahasa Provinsi NTT bahwa cerpen yang dipertimbangkan untuk diterima adalah cerpen-cerpen yang bertema lokalitas NTT, karya asli miliki penulis, cerpen yang belum pernah dipublikasikan, dan panjang cerpen 2.000 sampai 2.500 kata. Dengan mencermati persyaratan-persyaratan tersebut maka buku antologi cerpen yang akan diterbitkan akan didominasi tema lokalitas Provinsi NTT dalam karya sastra.

Tema yang disasar ini sungguh menarik dan membanggakan. Mengapa? Karena memang tema lokalitas Provinsi NTT dalam sastra menjadi ciri khas sastra Indonesia yang bertumbuh dan berkembang di Provinsi NTT selama ini, yang berbeda dengan sastra Indonesia yang ada di daerah lain. Sastra Indonesia warna daerah Provinsi NTT inilah yang dikenal luas kini dengan nama sastra NTT. Dan para penulis karya sastra itu adalah sastrawan NTT, yakni sastrawan Indonesia kelahiran Provinsi NTT atau keturunan NTT.

Setelah bergulat membaca dan mencermati 57 cerpen selama satu minggu siang dan malam, dipandu oleh persyaratan yang ditentukan Kantor Bahasa Provinsi NTT, akhirnya saya memutuskan 37 judul cerpen yang lolos seleksi berasal dari 23 cerpenis, sedangkan 20 cerpen tidak lolos. Ada cerpenis yang menyertakan satu cerpen, ada yang dua, ada pula yang tiga. Setiap penulis paling banyak diloloskan tiga cerpen. Jumlah cerpen yang lolos dan yang tidak lolos, tentu saja bisa berbeda dengan hasil penilaian kurator pertama, Bapak Gerson Poyk. Selanjutnya bergantung pada pertimbangan panita di Kantor Bahasa Provinsi NTT, berapa jumlah cerpen yang akan dimasukkan dalam buku antologi tersebut, yang tentu sesuai dengan rencana ketebalan buku.

Konsep Lokalitas dalam Sastra

Secara umum, konsep lokalitas berkaitan dengan tempat atau wilayah geografis tertentu yang terbatas atau dibatasi oleh wilayah geografis lain. Lokalitas mengasumsikan adanya sejumlah garis pembatas yang besifat permanen dan jelas yang mengelilingi satu wilayah atau ruang tertentu. Dalam konteks budaya, lokalitas tidak hanya berkaitan dengan tempat atau wilayah geografis tertentu, tetapi juga berkaitan dengan komunitas masyarakat dan kultural yang mendiami wilayah geografis tersebut, termasuk di dalamnya persoalan etnisitas.

Menurut pengamat dan kritikus sastra Indonesia, Maman S. Mahayana (dalam buku Pengarang Tidak Mati: Peranan dan Kiprah Pengarang Indonesia, 2012, hlaman 160-161), lokalitas budaya merupakan sebuah wilayah yang masyarakatnya secara mandiri dan arbitrer bertindak sebagai pelaku dan pendukung kebudayaan tertentu. Komunitas masyarakat dan kultural itu mengklaim sebagai warga yang mendiami wilayah tertentu, merasa sebagai pemilik, pendukung kebudayaan tertentu, dan bergerak dalam sebuah komunitas dengan sejumlah sentimen, emosi, harapan, dan pandangan hidup yang dipresentasikan antara lain dalam kesamaan bahasa, adat-istiadat, kebiasaan, dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai produk budaya, karya sastra memiliki pengertian lokalitas yang tentu tidak hanya sekadar ruang (space), lokus, tempat (place) atau wilayah geografi yang dibatasi atau berbatasan dengan wilayah lain secara fisikal yang kemudian dalam ilmu sastra disebut sebagai latar (setting), tetapi juga dimaknai sebagai wilayah kultural yang membawa pembacanya pada medan tafsir tentang situasi sosio-kultural masyarakat yang mendekam di balik teks karya sastra.

Lokalitas dalam sastra, di samping abstraksi tentang ruang, waktu, dan situasi dalam teks yang beku, tetapi juga ruang kultural yang menyimpan sebuah potret sosial, budaya, ekonomi, politik bahkan ideologi yang dipresentasikan melalui tema dan interaksi tokoh-tokohnya dan dinamika kultural yang mengungkapkan dan menyimpan nilai-nilai tentang manusia dan kemanusiaan dalam kehidupannya.

Secara sosiologis, sastrawan adalah anggota masyarakat tempatnya bertumbuh dan berkembang, makhluk sosial yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya masyarakatnya. Maka ketika seorang sastrawan memutuskan untuk mengungkapkan kegelisahannya sebagai tanggapan evaluatif atas segala problema sosial budaya politik sekonomi yang terjadi dalam komunitas budayanya, representasinya terakumulasi dalam teks karya sastra yang dihasilkannya. Dengan demikian, dari sudut pandang sosiologi, karya sastra dapat dijadikan semacam referensi sebagai pintu masuk untuk menyelami dan menelusuri secara lebih mendalam kebudayaan-kebudayaan yang beragam dalam komunitas masyarakatnya. 

Lokalitas NTT dalam Sastra

Dengan penjelasan singkat tentang konsep lokalitas di atas, maka lokalitas dalam sastra NTT dapat dijelaskan dan ditelusuri. Sastra NTT yang dimaksudkan adalah sastra Indonesia yang bertumbuh dan berkembang di Provinsi NTT, sastra Indonesi warna daerah NTT. Sastra NTT itu lahir dari kegelisahan kultural sastrawan NTT, yakni sastrawan Indonesia kelahiran Provinsi NTT atau keturunan orang NTT.

Hubungan terkait antara teks karya sastra dengan lingkungan masyarakat dan budaya tempat asal-usul pengarang karya sastra tersebut, dijelaskan dengan sangat bagus dalam perspektif teori strukturalisme genetik yang dikembangkan oleh Lucien Goldmann (1913-1970). Menurut Goldmann, karya sastra sebagai struktur yang bermakna mewakili pandangan dunia penulis, tidak saja sebagai individu, tetapi juga sebagai wakil masyarakat dan budayanya.

Lokalitas dalam sastra NTT tercermin dalam berbagai karya para sastrawan NTT, baik prosa maupun puisi. Sebagian besar sastrawan NTT, yang dalam penelusuran saya sampai dengan saat ini berjumlah 44 orang, mengangkat lokalitas NTT dalam karya sastra yang mereka hasilkan. Ini sesuatu yang membanggakan kita orang NTT. Meskipun saya belum tuntas menelaah buku-buku karya sastra NTT yang sampai dengan saat ini berjumlah 135 judul buku, namun sejumlah karya sastra NTT dapat disebutkan telah mengangkkat lokalitas NTT ke dalam karyanya. Di sini saya coba lokalitas NTT dalam sastra ke dalam tiga wilayah besar, yakni wilayah Timor, Flores-Lembata, dan Sumba (lihat buku Yohanes Sehandi, Sastra Indonesia Warna Daeah NTT, 2015).

Karya sastra NTT yang mengangkat lokalitas wilayah dan kultural masyarakat Timor dan sekitarnya berupa novel dan kumpulan cerpen, antara lain (1) Nostalgia Nusa Tenggara (Gerson Poyk, 1975), (2) Cumbuan Sabana (Gerson Poyk, 1979), (3) Bugenvil di Tengah Karang (Maria Matildis Banda, 1998), (4) Petra Southern Meteor (Yoss Gerard Lema, 2006), (5) Surga Retak (Mezra E. Pallondou, 2007), (6) Badut Malaka (Robert Fahik, 2011), (7) Cinta Terakhir (V. Jeskial Boekan, 2011), (8) Membadai Pukuafu (V. Jeskial Boekan, 2011), (9) Perempuan dari Lembah Mutis (Mezra E. Pellondou, 2012), (10) Likurai untuk Sang Mempelai (Robert Fahik, 2013).

Karya sastra NTT yang mengangkat lokalitas wilayah dan kultural masyarakat Flores-Lembata dan sekitarnya berupa buku novel dan kumpulan cerpen, antara lain (1) Poti Wolo (Gerson Poyk, 1988), (2) Enu Molas di Lembah Lingko (Gerson Poyk, 2005), (3) Lembata (F. Rahadi, 2005), (4) Ata Mai (Maria D. Andriana, 2005), (5) Atma Putih Cinta Lamahala Kupang (Pion Ratulloly, 2010), (6) Loe Betawi Aku Manggarai (V. Jeskial Boekan, 2011), (7) Bukit yang Congkak (Steph Tupeng Witin, 2014), (8) Wasiat Kemuhar (Pion Ratulloly, 2015), (9) Ine Pare (F. Rahardi, 2015).

Selanjutnya, karya sastra NTT yang mengangkat lokalitas wilayah dan kultural Sumba dan sekitarnya berupa buku novel dan cerpen, antara lain (1) Loge (Mezra E. Pellondou, 2008), (2) Nama Saya Tawe Kabota (Mezra E.Pellondou, 2008), (3) Perempuan Itu Bermata Saga (Agust Dapa Loka, 2011), (4) Mata Liku (Christo Ngasi, 2013), (5) Ndaina (Christo Ngasi, 2014).

Sedangkan untuk karya sastra puisi yang cukup kuat, sekali lagi yang cukup kuat, mengangat lokalitas wilayah geografis dan kultural masyarakat Provinsi NTT (Flobamora), saya baru temukan dalam beberapa buku kumpulan puisi, yakni (1) Doa-Doa Semesta (John Dami Mukese, 1983, 1989, 2015), (2) Puisi-Puisi Jelata (John Dami Mukese, 1991), (3) Ketika Cinta Terbantai Sepi (Usman D. Ganggang, 2011), (4) Samudra Cinta Ikan Paus (Bara Pattyradja, 2013), (5) Gemerisik Ilalang Padang Sabana (Agust Dapa Loka, 2014).

Kajian terhadap lokalitas dalam sastra NTT ini sangat menarik dan menantang kaum akademisi sastra di NTT untuk meneliti dan mengkajinya. Kajian ini akan memasuki wilayah sosiologi sastra dan antropologi sastra yang tentu sangat menarik. Kajian tersebut akan mengangkat kekhasan dan keunikan kultural masyarakat dan daerah Provinsi NTT yang bisa dijadikan sebagai “sarana diplomasi budaya” Provinsi NTT di tingkat nasional dan internasional. Pemerintah Provinsi NTT tentu berkepentingan memberi perhatian pengkajian seperti ini.

Sebagian besar cerpen yang lolos seleksi untuk buku Antologi Cerita Pendek Sastrawan NTT 2015 mengandung unsur lokalitas Provinsi NTT dalam karya mereka, baik secara eksplisit maupun implisit, baik yang diangkat secara dominan maupun tidak. Tentu saja tidak semua cerpen diulas unsur lokalitasnya dalam artikel yang pendek seperti ini, apalagi waktu yang diberikan Kantor Bahasa Provinsi NTT hanya beberapa hari saja. Saya coba mengambil beberapa contoh cerpen yang bisa menjadi representasi lokalitas NTT berdasarkan tema yang cukup dominan. Berikut ini saya ulas beberapa tema lokalitas NTT dalam cerpen.

Tema Adat  yang Membelenggu

Adat-istiadat yang masih berlaku dalam masyarakat NTT di mata sejumlah cerpenis dinilai membelenggu, tidak membebaskan. Dalam cerpen “Bidadari Tenggara” karya Umbu Nababan dikisahkan percintaan tulus yang dipupuk sejak kecil antara seorang lelaki keturunan bangsawan (marimba) bernama Umbu dengan Linda keturunan hamba (ata), yang menggunakan latar cerita Sumba Timur, pupus begitu saja karena ditentang orang tua dan keluarga besar. Alasannya, perbedaan strata sosial Umbu dan Linda. Baik Umbu maupun Linda akhirnya hidup merana. Sang bidadari dari tenggara yang bernama Linda akhirnya bunuh diri karena frustasi, apalagi terus disiksa sang suami yang bukan pilihannya.

Hal sama dengan jalan cerita yang berbeda dialami seorang pemuda dalam cerpen “Di Persimpangan Jalan” karya Roger Sarin Mau. Sang tokoh utama bernama Lorens dari keluarga sederhana jatuh cinta kepada seorang gadis keturuan bangsawan bernama Nita. Lorens tidak mampu menyatakan isi hatinya kepada orang tua Nita, karena tahu diri tidak mungkin diterima. Yang dia lakukannya adalah setiap sore ia menunggu setia di persimpangan jalan tatkala sang gadis Linda anak bangsawan melewati persimpangan jalan itu sehabis mengikuti latihan menenun. Setiap pertemuan tidak berlangsung lama takut diketahui orang tua bangsawan. Keduanya sepakat untuk berkeluarga. Di luar dugaan, Lorens dan Nita menghilang tak ada yang tahu.

Tema adat-istiadat juga diangkat Herman Chezter dalam cerpen “Kehilangan Muka.” Cerpen ini menggambarkan perilaku seorang ayah yang menjaga gengsi sebagai tokoh adat terkemuka. Urusan adat dipertaruhkan segala harta benda yang dimilikinya. Sebaliknya, untuk urusan keluarga, termasuk membangun rumah, pendidikan anak-anak, dan merawat isti yang sakit,  tidak dihiraukan. Kehidupan keluarga miskin. Kekayaan digunakan untuk urusan adat. Pada waktu  istri sakit tidak dirawat, tetapi begitu si istri meninggal, sebagian besar hewan piaraannya dibunuh setiap hari kasih makan orang banyak demi menjaga harga diri sebagai tokoh adat terkemuka.

Masalah belis juga dipersoalkan dalam cerpen. Yang disoroti adalah akibat buruk belis atau mahar kawin. Dilukiskan dengan bagus oleh Anacy Tnunay dalam cerpennya “Usai Pesta Pernikahan Silpa.” Dikisahkan, beberapa hari setelah pesta pernikahan yang meriah antara Silpa dan suaminya, terjadi keributan besar dalam keluarga besar suaminya karena masalah belis. Mama mantunya Silpa adalah seorang janda yang tidak mampu menyiapkan belis dan membuat pesta untuk pernikahan anak laki-lakinya. Karena gengsi adat dari saudara-saudaranya, mereka yang membayar belis anaknya. Belum seminggu usai pernikahan Silpa, perkelahiran dalam keluarga besar suami tak terhindarkan. Mereka dililit utang karena belis. Keluarga besar pecah belah berantakan karena gengsi adat dan sosial yang semu.

Tema Kekuatan Gaib dan Ilmu Hitam

Tema ini diangkat oleh empat cerpenis dalam lima cerpen. Tema kekuatan gaib dan ilmu hitam memang selalu menarik perhatian, tidak hanya dalam karya sastra, juga dalam kehidupan sehari-hari. Cerita seperti ini memang hidup dalam masyarakat kita, terutama masyarakat tradisional yang masih percaya pada hal-hal yang irasional, yang tidak masuk akal, tetapi sering diyakini sebagai sesuatu yang benar ada dan terjadi. Di berbagai wilayah di NTT cerita tentang ilmu hitam, suanggi, dukun, rasung, mbeko, dan kekuatan gaib lain masih menjadi bahan cerita menarik yang digosipkan dari mulut ke mulut, dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Adalah Buang Sine, seorang polisi senior yang masih aktif di Polda NTT sangat piawai mengangkat tema ilmu hitam dan kekuatan gaib ini dalam dua cerpennya. Dalam cerpennya yang berjudul “Panta Mera” (panta mera adalah sebutan orang Larantuka, Flores Timur, untuk santet atau ilmu hitam), diceritakan seorang anak laki-laki bernama Morito sudah dua hari tidak bangun karena sakit keras. Bapa mamanya sangat khawatir akan keselamatan anak tunggal mereka, apalagi beredar desas-desus bahwa panta mera sedang menyerang warga kampung. Seorang anak laki-laki bernama Leksi Nimorte, diisukan meninggal dunia karena dimakan panta mera. Sang Bapa Markus Lemoto memanggil dukun Bapa Kemurota untuk menghabisi pengirim santet.

Suatu malam, dukun Kemurota bersama Lemoto datang menyerang gubuk Yakomina, seorang dukun santet yang tinggal di lembah sebelah kampung. Tengah malam terjadi pertarungan sengit. Bola api sebesar biji bola sepak melesat dari bumbungan gubuk nenek tua ke angkasa, berputar-putar, kemudian bagaikan kilat melesat turun menyerang Kemurota dan Lemoto yang mengendap di semak-semak samping gubuk. Saat terjadi pertarungan sengit melawan bola api, Lemoto masuk gubuk membalikkan badan nenek Yakomina yang tidur telentang seperti orang mati, ke posisi tengkurap. Mari nikmati pelukisan Buang Sine atas peristiwa menegangkan itu:

“Tiba-tiba bola api itu meledak di udara. Markus dan Kemurota tiarap di tanah. Akhhh!!! Khhhh!!! Akhhh!!! Terdengar suara jeritan keras dari dalam bola api memecah langit. Suara perempuan tua. Orang-orang kampung terbangun berlarian mendekati asal suara. Bola api dan teriakan wanita tua meluncur masuk ke dalam gubuk mama Yakomina. Tiba-tiba terdengar ledakan besar. Bum! Asap putih membumbung dari dalam gubuk. Orang-orang kampung tertegun menyaksikan kejadian dahsyat itu. Mereka beramai-ramai masuk ke dalam gubuk melihat apa yang terjadi. Di dalam gubuk mereka mencium bau daging terbakar. Tubuh mama Yakomina hangus terbakar menghitam arang. Ia mati terpanggang ilmunya sendiri.”

Cerpen lain yang menangkat tema kekuatan gaib yang digambarkan cukup menegangkan juga adalah cerpen berjudul “Tumbal” (Buang Sine), “Hari terakhir Pah Tuaf” (Christian Dicky Senda), “Kematian dalam Cermin” (Roger Sarin Mau), dan “Gua Bakunase” (Nur Maimunah).

Tema Tolak Tambang

Kerusakan alam dan lingkungan hidup serta kesengsaraan masyarakat akibat kerusakan alam dan lingkungan hidup karena ulah perusahaan tambang mendapat perhatian serius sejumlah penulis cerpen. Kerusakan karena ulah perusahaan tambang ini terjadi merata di wilayah Provinsi NTT, baik di Sumba, Timor, dan Alor, maupun di Flores dan Lembata, dan lain-lain.

Cerpenis Diana D. Timoria lewat cerpennya “Pada Sebuah Harap” melukiskan penderitaan masyarakat sebuah desa di Sumba karena hutan milik mereka sudah gundul, sumber mata air kering, air minum untuk manusia dan ternak tidak ada lagi. Masyarakat menderita kelaparan yang hebat dan berkepanjangan. Pada awalnya Bapak Anton, seorang tokoh adat dan tokoh masyarakat setempat dibujuk kaki tangan perusahaan tambang bernama Frans untuk merelakan tanah mereka  dijadikan lokasi tambang. Pada awalnya sempat mereka tolak, namun karena terus dibujuk,  ditambah lagi dengan desakan biaya kuliah anaknya Umbu, menyebabkan tanahnya dan tanah-tanah warga lain digadai untuk perusahaan tambang, sebagai awal malapetaka mereka.

Setelah Umbu meraih gelar sarjana pertanian dan pulang ke kampung, kepadanya tumpuan harapan masyarakat untuk menolak dan mengusir perusahaan tambang. Dilema dialami Umbu, karena dia sarjana pertanian yang tidak tahu-menahu tentang hukum sebagai dasar menolak tambang. Kesengsaraan masyarakat dan kegalauan Umbu yang menjadi tumpuan harapan masyarakat mewarnai cerpen Diana Timoria yang dituturkan dengan sangat bagus dan lancar ini.

Tema tolak tambang yang sama diangkat juga satrawan NTT, Willy A. Hangguman lewat cerpennya “Molas Cendana.” Adalah Maria, tokoh utama cerpen, seorang wanita yang getol memimpin kaum wanita dalam kampungnya untuk menolak dan melawan perusahaan tambang. Awalnya perjuangan mereka tidak didukung kaum laki-laki, apalagi aparat pemerintah setempat. Namun mereka terus-menerus berjuang sehingga mendapat dukungan luas.

Tibalah suatu malam yang naas. Sekelompok pria bertopeng menteror warga kampung dengan memperkosa kaum wanita dalam kampung itu, dari rumah ke rumah, termasuk Maria sang pemimpin tolak tambang. Perkosaan pria bertopeng itulah membuat Maria hamil dan melahir anak perempuan bernama Rosa. Perguncingan dalam masyarakat atas kehamilan di luar nikah sebagai aib yang harus ditanggung Maria. Dia juga melawan orang tuanya yang berusaha menggugurkan anak dalam kandungannya karena dianggap aib dalam masyarakat. Suka-duka perjuangan menolak tambang dengan gigih, pantang mundur, disertai dengan beban batin yang harus ditanggung tokoh utama cerpen, mewarnai kepedihan perjuangan menolak tambang.

Tema Lain yang Khas NTT

Di samping tiga tema cerpen yang diulas khusus di atas, masih banyak lagi tema lain yang unik dan khas miliki Provinsi NTT. Tema lain yang khas itu misalnya, tentang keunikan budaya masyarakat NTT, yang diangkat dalam cerpen “Pasola” (Anold Sailang), cerpen “Beke di Wajah Sang Penari” (Nong Djese), dan cerpen “Dongeng dari Pulau Bunga” (Willy A. Hangguman). Cerpen-cerpen karya sejumlah sastrawan NTT yang sudah mapan, memberi bobot tersendiri buku antologi cerpen ini. Cerpen-cerpen itu adalah “Otak Rote” karya sastrawan senior Gerson Poyk, cerpen “Kapal Tujuh (De Zeven Provincien)” karya Mezra E. Pellondou, cerpen “Cerita dari Selat Gonsalu” karya Fanny J. Poyk, cerpen “Tombo Gerak Tanah” karya Suster Wilda, CIJ, dan cerpen “Lelaki Pertama dari Langit” karya Armin Bell. *

Oleh Yohanes Sehandi 
Pengamat Sastra dari Universitas Flores, Ende

(Pengantar kurator dalam buku Cerita dari Selat Gonsalu: Antologi Cerpen Sastrawan NTT, Editor M. Luthfi Baihaqi, Kantor Bahasa Provinsi NTT, Kupang, 2015)

1 comment for "Lokalitas NTT dalam Antologi Cerpen Cerita dari Selat Gonsalu"

  1. dimana bisa mesan novel sama cerpen yang di atas dipaparkan? saya ingin memesannya,,

    ReplyDelete